Ilustrasi pernikahan. (Sumber foto: Danu Hidayatur Rahman/pexels.com)
Surabaya (beritajatim.com) – Banyak problema riil yang dialami individu muslim maupun keluarga mereka butuh solusi yang sejalan dengan ketentuan dalam himpunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam. Sejumlah problema itu berhubungan dengan hukum pernikahan (perkawinan), hukum waris, dan hukum wakaf yang seringkali muncul di ruang privat warga muslim. Mereka membutuhkan pengetahuan dan pencerahan untuk menyelesaikan masalahnya secara tepat dan benar.
Karena itu, sharing dan delivery informasi serta pengetahuan secara presisi dengan rujukan yang kuat tentang sejumlah fenomena kemasyarakatan dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam penting dihadirkan.
Dalam konteks demikian, manajemen beritajatim.com bekerja sama dengan Fakultas Syariah dan Ekonomi Universitas Islam Tribakti Lirboyo (UITL) menjalin kerja sama konten pemberitaan tentang penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam melihat, menelaah, dan membedah problem kemasyarakatan secara faktual yang muncul di lingkungan kita. Semoga kerja sama ini ada guna dan manfaatnya. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Pertanyaan :
Bapak ibu pengasuh, saya pernah mendengar tentang istilah perjanjian setelah menikah, seperti apakah itu, apakah ada dasar hukumnya?
Jawaban :
Perjanjian setelah menikah atau perjanjian paska-perkawinan, dikenal dengan istilah Postnuptial Agreement adalah perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri dalam bentuk akta bawah tangan dan/atau menggunakan akta notaris selama keduanya masih dalam ikatan perkawinan. Tujuannya untuk antara memisahkan harta bersama atau harta masing-masing pihak yang diperoleh selama suami dan istri masih dalam ikatan perkawinan.
Dalam Postnuptial Agreement secara umum mengatur adanya akibat-akibat hukum (secara perdata) dalam perkawinan terhadap harta benda pasangan suami istri. Baik apabila terjadi perceraian, ataupun kematian dari salah satu pihak yang disebabkan karena suatu kondisi semisal:
Harta bawaan (harta sebelum menikah) masing masing pihak suami istri yang harus dipisahkan terlebih dahulu karena adanya hak anak dari pernikahan sebelumnya dalam kasus pernikahan antara janda dan duda.
Harta bawaan (sebelum menikah) masing masing pihak yang sangat besar dan masih tersangkut hak waris lain (pihak lain) meskipun atas nama pihak suami/istri tersebut.
Istri yang bekerja (sebagai tulang punggung keluarga), sehingga pihak istri menuntut pemisahan harta yang diperolah dari hasil bekerja istri.
Adanya anak angkat/anak adopsi ketika pasangan suami istri tidak mempunyai keturunan sehingga ahli waris asli adalah saudara kandung dari pihak suami/istri tersebut, dan lain-lain.
Pembagian Harta Gono Gini Usai Suami Istri Bercerai
Postnuptial Agreement dalam Undang-undang diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan:
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa harta yang dibawa suami atau istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan, misalnya warisan dari orang tuanya atau hadiah dari keluarganya adalah sebagai harta pribadi milik secara mutlak. Sifat harta pribadi menjadi hak individu masing-masing suami atau istri untuk menggunakannya. Tetapi ketika mereka berdua membuat kesepakatan untuk menggunakan secara bersama-sama, hal itu diperbolehkan.
Maka kemudian Postnuptial Agreement harus disepakati oleh kedua pihak (suami istri), bermaterai cukup, disaksikan oleh dua orang saksi yang dewasa dan berakal sehat, disepakati dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak manapun, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan sebuah perjanjian.
Hakikatnya terkait permasalahan harta, pernikahan merupakan bentuk syirkah (perserikatan antara dua orang/suami istri) dengan menggunakan akad nikah yang tidak mempunyai batasan dalam akad tersebut karena segalanya dalam pernikahan telah halal demi Allah. Artinya meskipun secara spesifik pada Pasal 85 sampai Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dijabarkan tentang pembagian jenis-jenis harta dalam perkawinan, tetapi jika kemudian di dalam perkawinan tersebut pasangan suami istri ini memutuskan untuk membuat sebuah kesepakatan/perjanian baru/addendum berupa Postnuptial Agreement maka hal tersebut diperbolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian/akta.
Postnuptial Agreement tidak bisa diterima/cacat hukum apabila di dalamnya mengatur hal-hal yang jelas-jelas dilarang oleh Undang undang Pidana ataupun Perdata Republik Indonesia.
Hj. Fatmah, S. Sy., M. H.,
Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam UIT Lirboyo,
Advokat dan Pengurus DPW Asosiasi Pengacara Syari’ah Jawa Timur.
SUMBER : https://beritajatim.com/ragam/bagaimana-hukum-perjanjian-paska-perkawinan/
No comments: