Blitar - Dukuh Maron, Desa Selokajang, Srengat, Blitar, dulu dikenal sebagai sentra produsen gula kelapa. Dan Wiji, adalah sosok generasi yang tersisa di antara mereka yang tak sanggup lagi naik di ketinggian karena faktor usia.
Langkah kaki pria berusia 63 tahun ini masih sigap menuju pekarangan. Satu per satu kakinya menapaki batang pohon kelapa setinggi 10 meter lebih itu dengan cepat. Di pinggangnya, terselip sebilah golok dan sebuah ember plastik.
Tak lama di atas pohon, Wiji bergegas turun dengan lebih berhati-hati. Karena di dalam ember plastik itu telah terisi cairan legen hasil deresan semalam. Tak lupa, dia memasang kembali wadah untuk mengumpulkan tetesan legen pagi ini agar bisa diambil sore nanti.
"Begini ini kerjaan saya tiap hari. Pagi jam 6 sudah naik buay ambil deresan semalam. Sekalian wadahnya dipasang lagi. Nanti jam 3 sore naik lagi, buat masang sekalian ambil deresan pagi," tuturnya.
Kali ini, hanya lima pohon kelapa yang bisa dideres Wiji. Itupun bukan pohon miliknya. Tapi pohon milik beberapa tetangganya, yang nanti akan dibagi hasil jika sudah diolah menjadi gula kelapa. Beberapa pohon kelapa yang tumbuh di pekarangan Wiji telah habis diserang hama Wangwung.
Legen yang telah dikumpulkan, langsung diolah menjadi gula kelapa. Sebuah wajan tembaga berukuran besar, mampu menampung sekitar 40 liter legen hasil deresan sehari. Istri Wiji yang bernama Sulik menyaringnya terlebih dahulu agar kotoran cairan legen bisa disisihkan.
Api tungku perapian menyala besar. Beberapa bilah kayu dimasukkan untuk menambah besar nyala api. Karena proses pembuatan gula kelapa ini memerlukan api besar agar cairan legen cepat mendidih sampai kental.
"Kurang lebih 3 jam masaknya. Saya kan gak pakai obat, ini murni legen. Jadi prosesnya memang lebih lama. Karena kalau pakai obat, legen cepat mendidih dan kental. Bentuk dan warnanya juga lebih bagus sebenarnya. Tapi saya gak mau bikin gula pakai obat. Yang murni-murni saja," aku Sulik kepada detikJatim, Jumat (20/1/2023).
Selain prosesnya lama, gula kelapa murni ini produksinya juga minim. Karena dari cairan legen sekitar 40 liter, hanya bisa dibuat gula kelapa murni sekitar 4 kg. Inilah sebabnya, banyak pembuat gula kelapa lainnya yang menambah tepung, bahan gula rafinasi dan obat agar produksi gula kelapa mereka lebih banyak.
"Sebenarnya lebih untung kalau jualan legen. Satu liter setengah itu laku Rp 11 ribu. Lha gula kelapa murni ini harganya hanya Rp 17 ribu per kilogram. Tapi legen itu hanya kalau ada pesanan bisa jualannya," ungkap Sulik.
Harga gula kelapa murni bikinan Sulik ini memang lebih mahal daripada gula kelapa yang memakai campuran bahan lain dan obat. Namun beda harganya hanya Rp 1000-1500/ kilogram. Sulik mengaku tidak menjual gula kepala murni buatannya ke pasar tradisional atau toko. Karena beberapa pelanggannya akan datang sendiri ke rumahnya di RT 2 RW 1 Dukuh Maron, Desa Selokajang Kecamatan Srengat.
"Pelanggan yang ke sini dari banyak daerah. Mereka ini biasanya jualan jenang, kue. Ada juga yang dipakai sendiri buat jamu katanya. Nah yang ini gak makan gula putih, jadi semua makanan sama minumannya pakai gula kelapa ini. Biar sehat katanya," imbuh ibu dua cucu ini.
Gula kelapa murni ini rasanya memang otentik legen yang dipadatkan. Rasa alami manis dan gurih menyatu dengan pas. Tektur gula kepala murni gampang lembek, jika tidak disimpan dalam suhu dingin. Dan pembuatan gula kelapa murni membutuhkan kesabaran dan keikhlasan untuk setia kepada alam.
Karena selain banyak pohon kelapa yang rusak diserang hama wangwung, sang penderes juga harus sehat lahir batinnya. Naik di ketinggian 10 meter lebih membutuhkan stamina prima dan kekuatan hati untuk ikhlas menjalaninya setiap hari.
Seperti Wiji yang telah melakoni "nderes" ini 30 tahun lebih. Dia hanyalah sisa generasi yang masih sehat dan kuat memanjat ketinggian pohon kelapa. Banyak tetangga lain yang berhenti membuat gula Jawa karena suami mereka memasuki usia senja.
"Mriki riyen kathah ingkang damel gulo. Tapi pun sami sepuh mboten kiat menek wit klapa, dados pun leren. Gek wit e klapa telas diserang wangwung niku nopo. Anake pilih nyambut damel teng toko, mboten purun lek ken menek-menek malih (dulu banyak yang membuat gula, tapi sudah pada tua semua, tidak kuat naik kelapa, jadinya berhenti. Kelapanya juga habis diserang wangwung. Anak pilih ekerja di toko, tidak mau manjat-manjat lagi)," aku Semi, tetangga kampung Wiji.
Erliana Riady - detikJatim
Tas Selimut Warna Pink Fanta |
Melihat Generasi Tersisa dari Kampung Sentra Produsen Gula Kelapa di Blitar
Reviewed by wongpasar grosir
on
January 20, 2023
Rating:
No comments: