Surabaya (beritajatim.com) – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus kekerasan dan pengusiran paksa Elina Widjajanti, seorang nenek berusia 80 tahun di Dukuh Kuwukan, Sambikerep, Surabaya.
Tersangka utama berinisial S-A-K alias Samuel resmi ditangkap petugas pada Senin (29/12/2025) siang, sementara satu tersangka lain berinisial M-Y atau Yasin masih dalam pengejaran pihak kepolisian.
Samuel diduga kuat sebagai otak yang menyuruh sekelompok orang dari organisasi kesukuan untuk mengusir paksa korban dari kediamannya. Saat dibawa masuk ke Gedung Ditreskrimum Polda Jatim dengan tangan terborgol dan mengenakan kaos hijau botol, Samuel memilih bungkam dan tidak memberikan komentar terkait penangkapan dirinya.
Penyidik menjerat kedua tersangka dengan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan atau pengerusakan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum. Atas perbuatannya, para pelaku terancam hukuman pidana penjara minimal selama 6 tahun.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, Kombes Pol Widyatmoko, menegaskan bahwa pihaknya terus melakukan pengembangan atas kasus yang menimpa warga lansia ini. Kepolisian membuka peluang adanya penambahan tersangka baru seiring dengan berjalannya proses penyidikan dan pengumpulan alat bukti.
Nenek Elina sendiri telah menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polda Jatim pada Minggu (28/12/2025). Dalam keterangannya, Elina menceritakan detik-detik mencekam saat puluhan orang berseragam merah mendatangi rumahnya dan memaksa dirinya keluar tanpa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah.
“Saya diminta surat. Saya tanyakan surat-suratnya. Nyatanya Samuel yang gak punya memperlihatkan suratnya. Mana suratnya, dia meneng lalu jalan. Suratnya itu ya Letter C (yang saya punya). Tapi ngakunya dia yang punya surat,” ujar Elina saat menceritakan awal mula perselisihan tersebut.
Kekerasan fisik terjadi saat korban berusaha mempertahankan hak atas rumah yang telah ditempatinya sejak tahun 2011 tersebut. Elina mengaku tubuhnya diangkat secara paksa oleh beberapa orang agar tidak bisa masuk kembali ke dalam rumahnya sendiri.
“Itu grup yang angkat saya keluar, saya gak boleh masuk ke dalam. Langsung saya diangkat empat. Kaki dua orang, tangan dua orang. Ya saya lawan, posisi saya dibawa agak luar,” lanjut Elina.
Menurut Elina, Samuel hanya membawa sebuah map saat kejadian namun menolak memperlihatkan isinya ketika ditantang untuk adu dokumen. “Saya tunjukkan yang Letter C-nya. Saya tanya, kamu janjikan mana suratnya. Saya ada dua surat. Dia katanya cuma 1 (suratnya). Dia diam aja, map-nya dikempit aja, terus pergi,” tuturnya.
Kuasa hukum korban, Wellem Mintarja, menambahkan bahwa akibat pengusiran paksa pada 6 Agustus 2025 tersebut, kliennya mengalami luka fisik serius. Berdasarkan kesaksian kerabat dan penghuni rumah lainnya, mulut Nenek Elina sempat mengeluarkan darah setelah diturunkan paksa oleh massa.
“Jadi para penghuni rumah yang diperiksa. Kalau Bu Maria masih kerabat. Pemeriksaan seputar kejadian itu. Beliau diangkat, setelah itu disuruh keluar. Di lokasi banyak orang. Setelah bu Elina diturunkan, mulutnya berdarah,” ungkap Wellem.
Wellem juga menyoroti adanya kejanggalan hukum dalam klaim kepemilikan oleh Samuel. Ia menemukan fakta bahwa akta jual beli (AJB) yang diklaim tersangka baru dibuat pada 24 September 2025, atau satu bulan setelah pengusiran paksa terjadi, di mana nama penjual dan pembelinya adalah Samuel sendiri.
“Akta itu baru dibuat, penjualnya ya dia (Samuel), pembelinya ya dia (Samuel). Sebelumnya kan atas nama Elisa, seharusnya pencoretan itu mengajak ahli waris untuk ke sana. Karena kita sama sekali tidak pernah menjual baik Bu Elisa sama Bu Eliana maupun ahli waris lainnya enggak pernah menjual sama sekali,” tegas Wellem.
Selain kasus kekerasan, pihak kuasa hukum berencana melaporkan hilangnya sejumlah dokumen penting dan harta benda milik kliennya yang terjadi pasca-pengusiran. Beberapa dokumen yang raib antara lain Letter C tanah, sertifikat rumah, hingga surat-surat perhiasan emas.
Wellem juga membantah klaim tersangka yang menyatakan telah melakukan pendekatan humanis sebelum pengusiran. Ia menilai klaim pembelian rumah yang disebut terjadi pada 2014 namun baru digugat pada 2025 adalah hal yang tidak masuk akal secara hukum dan logika transaksi.
“Kalau kita membeli sesuatu, membeli rumah, membeli tanah tahun 2014 terus kemudian 11 tahun kemudian baru mengklaim, itu ya kalian bisa nilai sendirilah. Apakah itu benar-benar terjadi transaksi jual-beli atau enggak. Iya itu sepihak. Karena kita sama sekali tidak pernah ditujukan suratnya,” ujar Wellem. [uci/ian]
No comments: