Surabaya (beritajatim.com)— Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nakama Bergerak menggelar aksi demonstrasi di depan DPRD Jawa Timur, Selasa (19/8/2025). Mereka mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam demokrasi dan merugikan rakyat.
Aksi ini diikuti sekitar 400 massa dari berbagai organisasi mahasiswa, mulai BEM UNAIR, BEM SI Kerakyatan Jatim, GMNI, HMI, PMII hingga elemen masyarakat sipil. Mereka membawa grand issue bertajuk “De(ad)mokrasi Indonesia, Indonesia Sold Out” sebagai simbol kemerosotan demokrasi.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mencabut dan membahas ulang produk hukum bermasalah, seperti RKUHAP, UU TNI, dan Perpres No. 66 Tahun 2025 yang berpotensi melanggar supremasi sipil,” tegas Koordinator Lapangan Utama, M. Rizqi Senja Virawan, yang juga Menteri Koordinator Pergerakan BEM UNAIR.
Menurutnya, negara juga harus berani melakukan reformasi aparat keamanan. Rizqi menilai tindakan represif aparat masih terus terjadi dan pelanggaran HAM belum pernah diselesaikan secara tuntas.
“Kami menuntut reformasi Polri secara menyeluruh, hentikan segala bentuk kekerasan aparat, dan adili seluruh pelanggar HAM berat masa lalu maupun sekarang,” ujarnya.
Isu ekonomi turut menjadi sorotan mahasiswa dalam aksi ini. Mereka menolak kebijakan fiskal yang dinilai hanya membebani rakyat tanpa memperhatikan kesejahteraan publik.
“Kami menolak batas atas PPN hingga 15 persen, menolak kenaikan pajak daerah, dan mendesak agar anggaran yang menguntungkan pejabat dialihkan untuk subsidi kebutuhan pokok serta realisasi 19 juta lapangan pekerjaan,” kata Rizqi.
Selain itu, mahasiswa juga mendesak DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset untuk memiskinkan koruptor. Mereka menolak praktik rangkap jabatan dan menuntut pemberantasan KKN tanpa pandang bulu.
“Kami menolak segala bentuk praktik rangkap jabatan pejabat negara. Korupsi harus diberantas dengan tegas dan aset hasil korupsi wajib dirampas,” tegasnya.
Tuntutan lain yang disuarakan adalah jaminan kesejahteraan tenaga pendidik, pendidikan gratis merata, penghentian perampasan tanah adat, serta penolakan upaya pemerintah menulis ulang sejarah. Mereka juga mengecam wacana pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto.
“Kami menolak arogansi kekuasaan dan penulisan ulang sejarah. Pemerintah jangan lagi mempertontonkan kebijakan anti-kritik yang justru mematikan demokrasi,” pungkas Rizqi. [asg/ian]
No comments: