
Yogyakarta (beritajatim.com)- Produksi beras nasional diperkirakan akan menembus angka 35,6 juta ton pada musim tanam 2025/2026. Prediksi ini disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam laporan Food Outlook edisi Juni 2025.
Meski menjadi kabar menggembirakan, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Subejo, mengingatkan kondisi ini masih banyak tantangannya. Beberapa tantangan di antarana yakni pentingnya penguatan teknologi pertanian dan sistem irigasi yang adaptif agar produksi tetap berkelanjutan.
“Peningkatan produksi ini tidak lepas dari cuaca yang relatif bersahabat tahun ini. Hujan datang lebih awal dibanding dua tahun terakhir, sehingga luas tanam pun meningkat,” jelas Prof. Subejo, Kamis (10/7), di Kampus UGM.
Insentif Harga dan Kepastian Pasar Jadi Penopang Produksi
Selain faktor iklim, kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram menjadi pemicu semangat petani. Harga yang stabil dan jaminan pembelian dari Bulog memberi kepastian usaha tani yang selama ini rawan fluktuasi harga saat panen raya.
Namun, Prof. Subejo mencatat bahwa kebijakan ini juga berdampak pada sisi hilir. Harga beras eceran ikut naik karena bahan bakunya—gabah—menjadi lebih mahal. Kondisi ini bisa menggerus daya beli masyarakat, terutama kalangan ekonomi lemah.
“Harga gabah naik, petani senang. Tapi konsumen bisa menjerit kalau harga beras terus melonjak. Solusinya, harus ada efisiensi di tahap pascapanen,” tegasnya.
Teknologi Pascapanen dan Energi Terbarukan Jadi Kunci
Untuk menekan biaya produksi, ia menyarankan penggunaan teknologi modern seperti mesin pengering dan penggilingan berteknologi tinggi. Inovasi seperti pengering bertenaga surya juga dinilai efektif, terutama untuk wilayah yang belum terjangkau listrik atau irigasi modern.
“Dengan smart farming dan efisiensi pascapanen, kita bisa menekan kehilangan hasil dan menjaga kualitas beras,” ujarnya.
Produktivitas Lahan Masih Perlu Digenjot
Meski volumenya meningkat, produktivitas beras Indonesia masih tertinggal. Rata-rata nasional masih sekitar 5,2 ton per hektar, kalah dari Vietnam dan Thailand yang sudah menyentuh angka 6 ton per hektar.
“Ini menunjukkan masih ada ruang besar untuk perbaikan, mulai dari pemilihan varietas unggul, teknik budidaya, hingga pengendalian hama,” papar Subejo.
Irigasi Adaptif dan Varietas Tahan Kekeringan
Menghadapi musim kemarau, sistem irigasi alternatif seperti embung mikro dinilai sebagai solusi hemat biaya dan efektif. Di sisi lain, UGM juga telah mengembangkan varietas padi adaptif seperti GAMAGORA, yang mampu tumbuh di lahan kering dan hanya butuh sedikit air.
“Pemanfaatan pompa air tenaga surya juga bisa dioptimalkan, terutama untuk daerah yang punya sumber air tapi belum punya jaringan irigasi. Ini sejalan dengan agenda energi hijau sekaligus efisiensi biaya,” tutupnya.
Prof. Subejo menekankan pentingnya sinergi lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah agar semua inovasi ini bisa diimplementasikan secara bertahap di berbagai sentra produksi padi Indonesia. [aje]
No comments: